
BSNP Gelar Pleno Hybrid
BEKASI, BSNP-INDONESIA.ORG — Untuk pertama kalinya sejak Pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menggelar pleno secara hybrid (luring dan daring), pada Senin (21/6/2021). Sebelumnya, sejak akhir Maret tahun 2020, BSNP menggelar rapat pleno dan kegiatan pembahasan standar dengan daring.
Pleno pada Senin ini, dibuka oleh Ketua BSNP Abdul Mu’ti dan dihadiri semua anggota BSNP secara luring dan daring. Pleno ini, antara lain membahas progres pembahasan Standar Sekolahrumah, dan Standar Layanan Khusus. Selain itu, juga membahas tentang persiapan empat kegiatan lainnya, yang direncanakana akan dimulai pada pertengahan bulan Juli 2021.
Salah satu maslah yang krusial dalam pelaksanaan empat kegiatan tersebut adalah penentuan Tim Ahli yang akan terlibat dalam pembahasan standar yang dilakukan oleh BSNP.
Dalam rapat pleno tersebut, anggota BSNP Romo Baskoro Poedjinoegroho mengatakan, negeri ini tampaknya memang harus mengatur semuanya atau memperhatikan semuanya. Memang sejauh yang ia ketahui, soal regulasi setiap sekolah itu diharapkan menjadi inklusif, itu bagus. Tetapi, menurutnya, regulasi itu bukan sesuatu yang gampang untuk dilaksanakan.
“Saya tidak tahu, sekolah yang ditunjuk pemda jadi inklusisf itu pelaksanaannya seperti apa. Misalnya di Kanisius, penerapan inklusi itu tidak segampang yang di bayangkan sebelumnya,” ujarnya.
Inklusi itu, menurut Romo Baskoro, bukan sekedar akan akan berikan layanan pendidikan, tetapi pihak penyelenggara pendidika juga harus memikirkan arsitektur bangunan yang harus disesuaikan. Bentuk penyesuaian itu tidak kecil. Misalnya toilet yang diperlukan seperti apa, standar pintu masuk dan keluar bagaimana.
“Apalagi kalau punya tangga, perlu ada rel untuk anak yang difabel agar bisa nyaman saat berpindah tempat dari lantai bawah ke atas dan sebaliknya. Saya tidak bisa bayangkan, kalau gedungnya tidak satu lantai. Apa bisa tanpa lif. Kita yang punya lif di Kanisius saja, tidak gampang mendesain itu. Itu dari segi arsitekturnya. Masih banyak hal lain yang memang kita berkehendak baik, tapi itu tidak gampang,” ujarnya.
Menurut Romo Baskoro, untuk Pendidikan Layanan Khusus ini membutuhkan sumber daya manusia yang juga khusus. Jadi, tidak semua guru bisa. Dengan demikian, ia mengatakan, pengelola sekolah juga dituntut menyediakan manajemen sekolah yang tidak biasa juga.
“Lantas dari sana, pikiran saya teringat pada Sekolahrumah. Bisa jadi, beririsan dengan Sekolah Khusus yang sangat respon sesuai kebutuhan anak,” ujarnya.

Pendidikan Tetap Perlu Standar
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Pendidikan tetap perlu standar. Jangankan pendidikan, di bidang lain pun saat ini seperti sedang berlomba untuk membuat standar agar kualitasnya meningkat.
“Lihat saja sopir gojek, juga ada standarnya. Tidak boleh pakai jaket bolong dan warna jaketnya tidak boleh pudar, tidak boleh bau apek, helm tidak boleh yang diluar standar. Bahkan, kementerian Pariwisata pun mengeluarkan aturan tentang standar usaha panti pijat. Lha ini, masak pendidikan tidak ada standarnya,” ujar Prof Suyanto, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ketika berbicara dalam Ngopi Seksi (Ngobrol Pintar Seputar Edukasi) yang digelar secara daring, di Jakarta, Minggu (9/5/2021).
Ngopi Seksi ini mengangkat tema apakah BSNP, BAN, Pengawas Sekolah/Madrasah, dan penilik sekolah akan hilang dari pendidikan Indonesia pasca PP 57/2021.
“Rumor itu, jika ada yang mengatakan tidak ada standar dalam pendidikan. Di PP itu ada, tetapi rumornya nggak usah pakai standar pendidikan. Tapi, kadang-kadang di negeri ini yang benar itu rumor. Kalau itu terjadi akan sangat memprihatikan, pendidikan tanpa standar. Di dunia lagi ramai membuat benchmark. Standar pendidikan kalau dihilangkan itu aneh,” ujarnya.
Suyanto menjelaskan, dalam tata urutan perundang-undangan, PP merupakan turunan UU. Jadi, bukan dari UU langsung ke peraturan menteri (permen). Kalau itu yang terjadi, berarti ada hal yang dilompati.
“Oleh karena itu, ketika standar dikatakan tidak ada, maka sebetulnya itu tetap ada, karena UU Sisdiknas mengatakan begitu. Di UU itu juga memberikan check and balance. Karena itu ada pengawas sekolah, badan pembuat standar yang independen, badan akreditasi dan sebagainya. Bahkan, kalau mau lebih kuat, badan standar ini bisa saja dikaitkan langsung dengan presiden, sehingga bertanggungjawab pada presiden agar posisinya lebih kuat dibandingkan sekarang, sebagai evaluasi eksternal dari sistem pendidikan,” ujarnya.
Jadi untuk check and balance sistem pendidikan, Suyanto mengatakan, tidak bisa diserahkan begitu saja pada satuan pendidikan, dimana para pengawas tidak ada. Menurutnya, sungguh aneh jika pelaksana, pengawas dilakukan oleh orang yang sama.
“Aneh jika peraturan dibuat sendiri, dilakukan, dan dievaluasi sendiri. Itu tidak ada check and balance. Di PP 57/2021, itu sudah semakin memudar. Pengawas dihilangkan, diganti hanya pimpinan sekolah. Sekolah melaksanakan standar tidak jelas, laksanakan programnya sendiri dan diawasi sendiri,” ujar Suyanto.
Terkait kerja BSNP, Suyanto mengatakan, saat ini sudah ada beberapa standar yang sudah selesai dibuat oleh BSNP. Standar-standar tersebut sudah diserahkan pada mendikbud. Salah satunya tentang standar PAUD dan Pendidikan Jarak Jauh.
“Masalahnya, hingga saat ini beberapa standar yang sudah dibuat oleh BSNP itu dibiarkan saja. Dipakai tidak, ditolak tidak, dibiarkan saja, tidak ada followed up nya. Katanya karena masih menuggu PP yang ketika itu sedang akan dibuat. Nah sekarang sudah selesai, lalu apa,” ujarnya.
Terkait PP 57/2021, di forum terpisah, Ketua BSNP Prof Abdul Mu’ti mengatakan, dalam sejarah Indonesia, PP ini telah membuat record baru. Pasalnya, PP ini paling cepat direvisi setelah disahkan oleh presiden.
“Tidak sampai seusia kecambah, karena belum berusia satu hari, sudah langsung direvisi. Direvisi karena banyak sekali cacat bawaan yang ada dalam PP itu,” ujarnya.

Pembelajaran Hibrid Perlu Disiapkan
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Prof Abdul Mu’ti mengingatkan semua pihak untuk bersiap dan menyiapkan model pembelajaran hibrid.
“Kita harus bertahan atau menyerah pada keadaan. Sebagai kaum beriman, kita bertahan dan meraih kemajuan. Saat ini, teknologi sesuatu yang disebut dunia maya, tetapi kita menghadapinya di dunia nyata. Virtual tapi nyata dan menjadi bagian kehidupan kita. Bagaimana pengaruh pada perubahan dalam pembelajaran. Kita tidak mungkin lagi berjalan mundur. Model pembelajaran hibrid, kampus dan sekolah harus menyiapkan pembelajaran hibrid,” ujarnya dalam diskusi Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, Minggu (9/5/2021).
Abdul Mu’ti mengatakan, saat ini kita berada pada era yang beberapa tahun lalu ditulis para ahli sebagai era disrupsi. Sebuah era yang ditandai oleh fallibility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (FUCA).
“Sebuah dunia yang tidak pasti, sangat kompleks, dan ambiguitas. Banyak hal terjadi, tetapi tidak diketahui sesungguhnya apa, dan tidak diketahui apa yang harus dilakukan,” ujarnya.
Situasinya dari FUCA ke TUCA, situasi yang lebih serius dari turbulence, uncertainty, complexity, dan ambiguity (TUCA). “Kita semua mengalami ini.
Kita alami goncangan yang sangat luar biasa. Tidak hanya ekonomi, politik, dan mental yang luar biasa,” ujarnya, yang juga mengingatkan bahwa dunia pendidikan juga tergoncang.
Menyitir Yuval Noah Harari, penulis dalam 21 lesson for 21th century, Abdul Mu’ti mengatakan, selalu ada sesuatu yang baru yang terus hadir. Dan hal baru itu, terjadi dengan begitu cepat.
Multi mengatakan, yang menjadi trend dunia pada abad 21, seperti diungkapkan oleh para ahli, paling tidak ada empat hal penting dan menentukan.
Pertama, among survival or among the losser. Bertahan atau menyerah pada keadaan. Bagaimana teknologi jadi penting. Meski saat ini masih ada kesenjangan teknologi, belajar online hanya dinikmati oleh yang punya akses pada teknologi. “Mereka yang punya akses gadget, internet dan budget,” ujarnya.
Kedua, mentality. Bagaimana mental jadi sangat penting. Banyak orang terdampak, langsung menyerah pada keadaan. Covid sebagai masalah sangat serius lalu pasif.
“Ini kelompok fatalis, jabariyah. Menunjukkan masalah itu, dan ditunjukkan bermasalah, kemudian dibesar-besarkan untuk jadi pembenaran atas keadaan yang dihadapi,” ujar Mu’ti yang mengingatkan, Pandemi Covid-19 juga bisa menjadi tantangan dan opportunity.
Ketiga, kreativitas menjadi penting. Kita semua melihat, di masa Pandemi Covid-19 ini, ada temuan baru, seperti G-nose dari UGM. Jamaah zoomiyah dan youtubiyah, yang semakin hari semakin menjadi ritual keseharian.
“Meski banyak orang mengalami tekanan luarbiasa dalam kehidupan, dan mengatasi persoalan dengan cara yang memang dilakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Seperti yang dilakuan para ustadz yang tidak ke masjid dan majelis taklim. Mereka susah, tetapi tidak mengeluh,” ujarnya.
Keempat, dalam hal pendidikan ketika trend ke depan semuanya terdigitalisasi. Bergerak kedepan, bagaimana menjadikan dunia digital sebagai dunia baru. “Perang kedepan, bukan lagi pakai senjata atau pakai kapal selam, sudah perang data. Siapa yang kuasai data akan menguasai dunia. Isu big data. Istilahnya, digital dictatorship seperti yang dipakai Harari,” ujarnya.

Sekolahrumah Juga Bisa Jadi Sandaran Hidup
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Sebagian masyarakat saat ini, sudah ada yang punya keyakinan bahwa untuk mendapatkan penghasilan yang akan digunakan sebagai mata pencaharian hidup, tidak hanya lewat sekolah. Ada orangtua yang yakin bahwa menyalurkan minat dan bakat anaknya, bisa dilakukan di Sekolahrumah.
Keyakinan inilah, menurut Petrus Harri Utomo, anggota Tim Ahli penyusunan Standar Sekolahrumah yang mendorong bermunculannya Sekolahrumah.
“Sekolahrumah juga bisa jadi sandaran hidup. Saya melihat praktek dalam Sekolahrumah, sangat tanggap sekali. Kalau dulu ada stereotype, sekolah untuk mencari kerja, sekarang sudah ada keyakinan di luar itupun bisa mendapatkan penghasilan,” ujarnya dalam pembahasan Standar Sekolahrumah yang digelar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan di Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
Pertemuan yang berlangsung secara daring ini, didampingi dua orang orang anggota BSNP, Poncojari Wahyono dan Romo Baskoro Poedjinoegroho. Selain itu, pertemuan ini juga dihadiri Ketua BSNP Abdul Mu’ti dan anggota BSNP Bambang Setiaji.
Di masyarakat, menurut Harri, sudah ada yang berpandangan dengan jadi youtuber,chef, atlit, atau seniman, sudah bisa digunakan untuk mendapatkan penghasilan.
“Ini merupakan perkembangan maju, menurut saya. Mereka sudah punya keyakinan lain, bahwa untuk mendapat penghasilan itu tidak hanya bisa didapat dari sekolah,” ujarnya.
Harry juga menyitir pasal 1 ayat (2) UU Sisdiknas no:20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggapterhadap tuntutan perubahan zaman.
Menurutnya, landasan ini amat penting untuk membangun pondasi pendidikan yang bermutu, terutama terkait dengan dasar kebudayaan nasional.
Ia kemudian juga menyebutkan pasal 4 ayat (5) UU Sisdiknas yang memuat tentang prinsip penyelenggaran pendidikan. Disebutkan, Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
“Dasar budaya membaca, menulis dan berhitung ini, amat penting untuk menjadi pondasi anak belajar di masa depan. Saya tidak bisa membayangkan jika seorang anak tidak bisa menulis dan membaca, serta berhitung,” ujar Harri.
Ia juga menegaskan soal pendidikan alternatif Sekolahrumah yang memberikan kebebasan pada anak-anak untuk mengasah minat dan keahliannya untuk kehidupannya nanti.
Elih Sudiapermana yang menjadi anggota Tim Ahli Standar Sekolahrumah mengatakan dua hal, satuan pendidikan dan krikulum. Ia menegaskan, Sekolahrumah itu merupakan pendidikan informal. Karakteristik Sekolahrumah adalah orangtua dan lingkungan.
“Kemudian berkembang ke komunitas. Ini bisa berkembang menjadi satuan pendidikan. Kalau sudah di komunitas ini, apakah tidak bisa bergeser menjadi pendidikan non-formalsaja,” ujarnya.
Dalam naskah akademik Standar Sekolahrumah, Elih mengingatkan, soal komponen kebangsaan yang perlu ditanamkan bagi anak yang memilih Sekolahrumah.

Proses Penyusunan Naskah Akademik Sekolahrumah Sedang Berlangsung
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) saat ini sedang menyusun Standar Sekolahrumah. Proses penyusunan Standar Sekolahrumah itu, baru memasuki proses pembuatan naskah akademik Sekolahrumah. Poncojari Wahyono, anggota BSNP mengatakan, proses penyusunan naskah akademik yang mejadi bagian dari proses penyusunan Standar Rumahsekolah ini, dilakukan BSNP bersama tim ahli.
“Saya berharap, naskah ini dapat menampung berbagai pemikiran. Itu sebabnya, tim ahli yang dipilih ini datang dari berbagai latarbelakang, praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan, dengan berbagai macam mazhab pemikiran,” ujar Poncojari yang menjadi salah satu anggota BSNP pendamping penyusunan Standar Sekolahrumah, Sabtu (8/5/2021), ketika membuka pertemuan pembahasan Standar Sekolahrumah yang berlangsung secara daring.
Ketua BSNP Prof Abdul Mu’ti menambahkan, pembahasan dan perdebatan akademik dalam penyusunan Standar Sekolahrumah, yang berlangsung sehari sebelumnya, akan menambah kekayaan dalam kajian teroritik dalam berbagai “aliran” Sekolahrumah. Harapannya, dokumen yang dihasilkan akan menjadi naskah yang cukup komprehensif.
“Tiidak apa-apa kita memiliki berbagai pandangan dan pemikiran serta gagasan yang muncul, namun akan menjadi satu-kesatuan yang memperkaya dan menjadi dasar yang kuat dan konstruktif untuk Standar Sekolahrumah yang akan disusun,” ujarnya.
Anggota BSNP Romo Baskoro Poedjinoegroho yang juga menjadi pendamping penyusunan Standar Sekolahrumah mengungkapkan dua hal. Pertama, pembahasan soal bhinneka dan keberagaman dalam penyelenggaraan Sekolahrumah, dapat dimasukkan. Apalagi, sudah ada prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas no: 20/2003.
Pasal 4 ayat (1) UU Sisdiknas no:20/2003 menyebutkan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Kedua, dokumen ini diharapkan dapat menjadi naskah yang hidup, meskipun sebagai sebuah naskah akan diselesaikan. Tetapi, dokumen ini bukan seperti kitab suci yang tidak bisa diubah.
“Jadi, meskipun sudah di akhir, kalau memang ada yang perlu ditambahkan dan disempurnakan, tetap bisa dilakukan,” ujarnya.
Bambang Setiaji, anggota BSNP yang juga hadir pada pembahasan Standar Rumahsekolah mengatakan, penting untuk menampung berbagai macam pikiran agar naskah akademik Sekolahrumah yang sedang disusun dapat mengadopsi berbagai kepentingan. Menurutnya, di era yang cenderung memihak pada Sekolahrumah ini, tetap memerlukan penekanan pada kompetensi minimal.
“Berbagai alternatif Sekolahrumah itu sudah ada di masyarakat dan saat ini sedang berkembang,” ujarnya.

BSNP Memulai Pertemuan Kedua Pembahasan Standar Sekolahrumah
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG- Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sejak pekan lalu sudah mulai membahas Standar Sekolahrumah. Pekan ini, Jumat (7/5/2021) sudah memasuki pertemuan kedua yang akan fokus untuk penyelesaian pembahasan tentang naskah akademik Sekolahrumah.
Dalam pengantar pembukaan pertemuan kedua ini, Ketua BSNP Prof Abdul Mu’ti mengatakan, Standar Sekolahrumah ini sudah banyak dinantikan banyak pihak. Menurutnya, ditengah berbagai kecenderungan keluarga modern di Indonesia saat ini, serta keinginan tertentu dari masyarakat untuk mendapat layanan pendidikan yang lebih fleksibel, maka yang akan dirumuskan ini menjadi bagian penting.
“Harapannya, supaya tetap ada yang menjadi ukuran kualitas pendidikan yang kita harapkan,” ujarnya.
Tentunya, menurut Mu’ti, BSNP sebagai institusi negara, harus mematuhi perundang-undangan yang ada. Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan harus berbasis standar. Namun, ia juga mengingatkan, untuk kepentingan peningkatan pendidikan, standar ini tetap memberikan ruang untuk imporovisasi dan kebebasan dalam mengembangkan pendidikan.
“Naskah akademik tampaknya sudah hampir selesai, ini sebuah kerja yang luar biasa. Ini the dreams teams yang bersama kita,” ujarnya.
Anggota BSNP yang menjadi pendamping untuk pembahasan Standar Sekolahrumah, Romo Baskoro Poedjinoegroho menilai, dinamika yang terjadi pada pertemuan pertama untuk pembahasan naskah akademik ini, berjalan dengan sangat baik.
“Tampak kerjasama yang kompak dan menggairahkan bagi semua. Kalau semua bergairah, bersemangat, tentu akan berbuah baik dari pertemuan itu,” ujarnya.
Romo Baskoro mengakui, memang sekarang naskah akademik nyaris jadi. Namun, ia tetap berharap, jangan sampai naskah akademik yang akan diselesaikan ini, justru membuat dinamika baik yang sudah terjadi pada pertemuan sebelumnya, akan terpaku dan terbelenggu.
“Naskah akademik ini biarlah tumbuh bersama sampai akhir pertemuan nanti, agar menuju kesempurnaan. Kreativitas dan inovasi jangan sampai terbelenggu oleh naskah akademik. Tujuannya demi kemajuan anak bangsa melalui pendidikan Sekolahrumah,” ujarnya.
Poncojari Wahyono, anggota BSNP yang juga menjadi pendamping pada pembahasan Standar Sekolahrumah ini mengingatkan, agar pembahasan Standar Sekolahrumah juga tetap merujuk pada delapan Standar Pendidikan Nasional.
“Pada pertemuan kedua Standar Sekolahrumah ini, temanya finalisasi naskah akademik. Mudah-mudahan dapat selesai, karena akan digunakan untuk penyusunan draft selanjutnya,” ujarnya.
Supriyono, salah satu tim ahli dalam pembahasan Standar Sekolahrumah ini mengusulkan, naskah akademik ini bisa menjadi embrio buku putih Sekolahrumah di Indonesia. Menurutnya, pedoman tentang Sekolahrumah yang ada sekarang belum cukup komprehensif.
“Apalagi, dalam pembahasan Standar Sekolahrumah ini sudah melibatkan praktisi, pembuatan kebijakan, dan pengampu sekolahrumah,” ujarnya.
Subi Sudarto, anggota tim ahli Standar Sekolahrumah sepakat dengan usul Supriyono, agar ada kejelasan dan kesepakatan tentang apa yang dinamakan Sekolahrumah. Sehingga negara bisa hadir dan dapat berkontribusi mengatur tentang Sekolahrumah yang sudah disepakati oleh para pemangku kepentingan.

Pendidikan Informal Masih Terdiskriminasi
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesoema A menilai pendidikan informal saat ini masih terdiskriminasi.
“Sekarang masih ada diskriminasi bagi peserta didik yang menjalani pendidikan berbeda dari sekolah formal.,” ujar Doni dalam pertemuan perdana pembahasan Standar Sekolahrumah yang digelar BSNP pada Jumat (23/4/2021).
Sejauh ini, menurutnya, perundangan yang secara eksplisit menyatakan perlunya pola asesmen berbeda untuk anak yang kebutuhannya berbeda, baru ada di Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
Misalnya, poin soal asesmen untuk anak tunarungu atau tunanetra, tidak bisa disamakan dengan anak lain. Selama ini anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas masih sering didiskriminasi.
Terkait dengan peserta didik Sekolahrumah, Doni juga masih melihatnya sebagai bagian dari kelompok yang terdiskriminasi. “Saat ini punya ijazah kesetaraan Paket C itu, masih jadi syarat untuk bisa mendaftar ke perguruan tinggi. Padahal Sekolahrumah itu kan jalur pendidikan informal, tidak selalu mementingkan punya ijazah kesetaraan, tapi terpaksa harus ikut sertifikasi formal, kalau tidak nanti tidak bisa kuliah,” ujarnya.
Bergabung di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) pun, menurut Doni, belum sepenuhnya mengatasi diskriminasi ini. Menurutnya, PKBM adalah jalur pendidikan nonformal, sementara Sekolahrumah itu informal, jalur pendidikan oleh keluarga dan lingkungan, bukan nonformal.
“Lalu nanti anak yang memilih Sekolahrumah yang ada di PKBM, diharuskan ikut ujian kesetaraan yang beda sekali dengan yang mereka pelajari sehari-hari,” kata Doni.
Menurut Doni, harusnya semua jalur pendidikan – baik formal, nonformal, dan informal – punya hak yang sama. Ke depannya, ia berharap, perlu dirancang kebijakan agar untuk mendaftar ke perguruan tinggi, anak-anak tidak perlu disyaratkan punya ijazah kesetaraan. Asal lolos tes ujian masuk kampus, berarti dia sudah punya kompetensi yang cukup untuk mengikuti perkuliahan.
Sekolahrumah Perlu Standar
Doni menyadari, sebagian praktisi Sekolahrumah merasa curiga atau khawatir dengan langkah BSNP menyusun Standar Sekolahrumah. Padahal, Sekolahrumah pun membutuhkan standar, agar pendidikan yang diberikan juga berkualitas.
“Sebagian praktisi mungkin berfikir, BSNP kok sekarang mengurusi sekolahrumah ya? “ atau “Wah, nanti kami pegiat Sekolahrumah diatur-atur oleh pemerintah.”
Menurut Doni, kecurigaan atau kecemasan seperti itu sebetulnya tidak perlu terjadi. “Dalam perumusan standar ini, konsepnya adalah mendengar suara dari bawah, kami di BSNP menggali pengalaman di lapangan seperti apa, baru diregulasi. Bukan kebalikannya, kementerian punya gagasan tentang Sekolahrumah, lalu memaksa praktisi melaksanakannya. Itu tidak demokratis. Nanti akan ada banyak protes.”
Doni kembali mengingatkan definisi pendidikan di UU Sisdiknas, sebagai usaha yang sadar dan terencana. “Kalau Sekolahrumah, siapa yang merencanakan? Orangtualah yang harus punya kesadaran dan langkah langkah terencana supaya anak-anak mampu mengembangkan potensi diri, bisa meregulasi diri, punya akhlak mulia, keterampilan yang dibutuhkan dirinya, bangsa, dan negara,” katanya.
Karena itulah, kata Doni, standar diperlukan supaya tidak terjadi kekosongan regulasi. Peraturan harus tetap ada tapi menjaga semangat fleksibilitas sekolah rumah.
“Jadi sudut pandangnya harus positif dan optimis. Kami persilakan tim menggagas seperti apa pendidikan masa depan yang sungguh inovatif, yang sesuai fakta di lapangan, bisa mengungkit kualitas pendidikan, dan menjadi jalan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
Jangan Kaku
Menurut Doni, tantangan tim pengembangan Standar Sekolahrumah adalah menyusun klausul yang memuat prinsip mendasar, tanpa mengurangi fleksibilitas praktis. Misalnya di UU Sisdiknas disebutkan, wajib ada pelajaran agama, Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, IPA dan IPS, berarti muatan ini harus ada, tapi isinya apa, jangan sampai tidak relevan.
“Contohnya, anak yang ingin jadi musisi, jangan dipaksa belajar materi fisika dan kimia yang tidak dia perlukan,” ujarnya.
Saat mendesain naskah akademik, Doni mengingatkan tim untuk terus mengingat prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas yang berisi enam butir:
Pertama, pendidikan harus demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. “Jadi, misalnya, tidak boleh tidak ada pendidikan agama,” kata Doni.
Kedua, pendidikan adalah satu kesatuan dengan sistem terbuka dan multimakna. “Tiap anak punya kemerdekaan untuk memaknai pendidikan secara berbeda,” ujarnya.
Ketiga, pendidikan adalah pembudayaan dan pemberdayaan sepanjang hayat. “Kita ingin hasil akhirnya anak-anak yang pembelajar, mereka tidak harus belajar semuanya karena belum tentu mereka butuh semuanya, tapi saat dia butuh, anak itu punya semangat belajar, nah itu perlu diformulasikan dalam metode atau pedagogi sekolahrumah,” jelasnya.
Keempat, pendidikan harus memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik. “Anak yang memilih belajar di Sekolahrumah harus mendapat teladan dari bapak ibunya, dari komunitasnya, dibangun kemauannya sesuai minat bakat masing-masing, dan dilibatkan dalam proses belajar,” kata Doni lagi.
Kelima, pendidikan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung. “Literasi ini adalah soal bagaimana membaca, menulis, dan berhitung itu bisa membudaya di seluruh masyarakat,” ujarnya.
Keenam, pendidikan melibatkan semua komponen masyarakat. “Aspek keenam ini sangat mungkin terjadi dalam sekolah rumah, ada sharing resources, bahkan pembelajaran level global, mengakses sumber belajar dari berbagai negara,” ujar Doni yang kembali mengingatkan agar dalam perumusan Standar Sekolahrumah yang perlu dirumuskan itu poin-poin pentingnya, yang wajib ada saja, seperti yang sudah digariskan UU Sisdiknas, tapi fleksibel.
“Kalau prinsip-prinsipnya sudah ada, nanti direktorat akan bisa menurunkan jadi aturan teknis yang lebih detil,” katanya.

Sekolahrumah Trend Masa Depan
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesoema A mengatakan, Sekolahrumah dapat menjadi trend pendidikan masa depan, Jumat (23/4/2021).
Doni menyampaikan ini pada pertemuan perdana pembahasan Standar Sekolahrumah yang digelar BSNP.
“Apabila kita mengikuti perkembangan sejarah pendidikan, Sekolahrumah sangat mungkin menjadi model pendidikan yang akan dipilih oleh banyak warga negara di masa depan. Fleksibilitas yang disediakan oleh Sekolahrumah akan memungkinkan anak-anak mendapat pendampingan yang disesuaikan dengan cita-cita mereka yang berbeda-beda,” ujarnya.
Pendidikan, Doni menjelaskan, mulanya muncul sebagai praktik berbasis keluarga. Ia bercerita, di Romawi Kuno, anak belajar dari orangtuanya. Kalau orangtuanya menjabat sebagai senator, anaknya akan mengikuti, melihat cara bapaknya mengadili, mengembangkan aturan, berkomunikasi, dan berdiskusi.
“Dengan begitu keluarga menjadi contoh buat anak,” ujarnya.
Namun sayangnya, menurut Doni, pendidikan berbasis keluarga yang bermutu di masa lalu itu masih bersifat elitis. Artinya, orang yang bisa mengakses hanya para bangsawan, sementara kaum budak tetap terpinggirkan.
Ia menjelaskan, pendidikan yang bersifat massal baru mulai disediakan pada abad ke-15, dan baru relatif merata dan bisa dijangkau oleh rakyat kebanyakan pada abad ke-20. Lalu mulai disadari munculnya problem baru, yakni pendidikan massal yang tersedia bersifat terpusat dan serba seragam.
Model pendidikan yang demikian, menurut Doni, semakin lama semakin tidak relevan seiring perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
“Saat ini ada tren masyarakat kembali meminati pendidikan yang dipersonalisasi, dan Sekolahrumah termasuk opsi itu,” ujarnya.

Presiden Tandatangani PP Standar Nasional Pendidikan
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam PP Nomor 57/2021. Pada bagian menimbang, dijelaskan alasan penerbitan PP tersebut. Bahwa, pendidikan di Indonesia membutuhkan standar nasional yang memerlukan penyesuaian terhadap dinamika, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan masyarakat untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan.
PP tersebut, diakses dari situs https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176416/PP_Nomor_57_Tahun_2021.pdf. Dalam PP itu disebutkan, bahwa
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem Pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyebutkan, Standar Nasional Pendidikan digunakan pada Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat pada Jalur Pendidikan formal, Jalur Pendidikan nonformal, dan Jalur Pendidikan informal.
Pasal 3 ayat (1) menjelaskan, Standar Nasional Pendidikan mencakup delapan hal. Yaitu; a. standar kompetensi lulusan; b. standar isi; c. standar proses; d. standar penilaian Pendidikan; e. standar tenaga kependidikan; f. standar sarana dan prasarana; g. standar pengelolaan; dan h. standar pembiayaan.
Standar Nasional Pendidikan ini, menurut Pasal 3 ayat (2), digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan Pendidikan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan nasional. Dijelaskan pula, pada pasal 3 ayat (3), Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan untuk meningkatkan mutu Pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
BSNP
Hal yang menarik dari PP ini, meskipun pemerintah sudah membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan amanat UU no:20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, namun pasal 34 ayat (1), PP 37/2021 ini, tidak secara eksplisit menyebutkan BSNP. Namun, ayat itu memuat, Pengembangan Standar Nasional Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu Pendidikan.
Meskipun sebuah PP merupakan operasionalisasi dari sebuah UU, namun tampaknya masih ada aturan yang akan dibuat oleh menteri terkait badan tersebut. Pasal 34 ayat (4) memberikan kewenangan pada menteri untuk mengatur lebih lanjut. Disebutkan, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. Bagaimana pengaturan yang akan dibuat oleh menteri terkait badan ini, masih ditunggu kelanjutannya.
Pada bagian penjelasan dari PP tersebut menyebutkan, evaluasi terhadap hasil belajar Peserta Didik merupakan kewenangan dan tugas pendidik. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah melakukan evaluasi terhadap sistem Pendidikan untuk memantau kemajuan dan kesenjangan di dalam sistem, serta melaporkan hasil evaluasi tersebut sebagai bentuk akuntabilitas publik. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga dibantu oleh lembaga mandiri untuk melakukan telaah kritis dan objektif.
Penyempurnaan pengaturan mengenai evaluasi sistem Pendidikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan lembaga mandiri akan memotret mutu secara lebih komprehensif, meliputi efektivitas Satuan Pendidikan dalam memfasilitasi pembelajaran, pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan, kualitas proses pembelajaran dan pengelolaan Satuan Pendidikan, serta jumlah, distribusi, dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Potret yang komprehensif ini dirancang agar dapat dimanfaatkan oleh kepala Satuan Pendidikan dan Pemerintah Daerah untuk melakukan evaluasi diri dan perencanaan program serta anggaran yang berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran.

BSNP Akan Serahkan Draf Standar PJJ dan PAUD
JAKARTA, BSNP.OR,ID — Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) akan menyerahkan draf tandar Pendidikan Jarah Jauh (PJJ) dan PAUD ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini diungkapkan Ketua BSNP Prof Abdul Mu’ti dalam taklimat media yang digelar pagi ini, di Jakarta, Jumat (18/9/2020) melalui daring.
Abdul Mu’ti didampingi oleh sekretaris BSNP KH Arifin Junaedi, dan anggota BSNP seperti, Imam Tholkhah, Bambang Setiadji, Doni Koesoema, Ali Saukah, Kiki Yuliati, Poncojari Wahyono, Ki Saur Panjaitan XIII, Suyanto dan Pdt Henriette T Hutabarat Lebang dan Suyanto,
Abdul Mu’ti mengungkapkan, pendidikan yang berkualitas merupakan hak setiap warga Negara Indonesia. Pemenuhan hak untuk memperoleh pendidikan berkualitas akan dapat tercapai bila Pemerintah memberikan perhatian besar pada akses pendidikan sejak anak usia dini. Di satu sisi, kondisi geografis, sosial, ekonomi bangsa Indonesia, seringkali menjadi kendala bagi pemenuhan hak ini. Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan peluang dan potensi untuk memperkuat layanan pendidikan berkualitas bagi setiap warga.
“Karena itu, menurutnya, berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, BSNP telah mengembangkan Standar Nasional Pendidikan untuk Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ),” ujar Abdul Mu’ti, ketika membacakan siaran pers.
Draf selesai
Setelah melalui uji publik dan menerima masukan dari para pemangku kepentingan, saat ini, Abdul Mu’ti mengungkapkan, BSNP sudah menyelesaikan beberapa draft Permendikbud. Draf yang diselesaikan itu ada dua, draf Permendikbud tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan draft Permendikbud tentang Standar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).
Kedua draft Permendikbud ini akan diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk diproses lebih lanjut menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan berkualitas bisa terjadi bila Negara mempersiapkan proses pendidikan yang baik bagi setiap warga negaranya mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini secara holistik dan integratif. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini menjadi sangat sentral agar anak-anak Indonesia mengalami proses tumbuh kembang dan kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
Draft Permendikbud tentang Pendidikan Anak Usia Dini diusulkan ini, menurut Abdul Mu’ti, untuk merevisi Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, karena hasil pemantauan BSNP tentang standar PAUD tersebut menunjukkan, beberapa hal pengaturan dalam standar perlu diperbaharui.
Hal yang baru dalam draf ini meliputi:
- Definisi pengelompokan anak usia dini yang berimplikasi pada pengaturan dan penguatan tanggungjawab keluarga pada pendidikan anak.
- Lebih mengedepankan kesejahteraan peserta didik (wellbeing), termasuk mencegah tindakan diskriminatif, perundungan (bullying) dan pelecehan seksual.
- Eksplisit mengamanatkan peranan orang tua dalam pendidikan anak.
- Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) disusun secara lebih fleksibel berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
- Standar Isi mengamanatkan Kurikulum PAUD dikembangkan tidak dalam bentuk Kompetensi Inti/Kompetensi Dasar.
- Mengakomodasi kemerdekaan anak untuk bermain dalam proses belajar untuk mendapatkan pengalaman.
Selama ini, belum ada Standar Pendidikan Jarak Jauh. Oleh karena itu, penyusunan draf PJJ melengkapi dan menyempurnakan Permendikbud sebelumnya agar layanan pendidikan jarak jauh semakin membuka akses bukan hanya akses pendidikan bagi mereka yang memiliki kendala dan tidak dapat dilayani melalui sistem pendidikan reguler, melainkan juga sebagai antisipasi dan pilihan pendidikan di masa depan.
Draft Permendikbud tentang Standar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) merupakan usulan untuk perubahan Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Istilah pembelajaran jarak jauh yang digunakan selama pandemi Covid-19 hanya merupakan bagian dari penyelenggaraan PJJ.
Draft Permendikbud tentang PJJ didesain untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang menyeluruh untuk mengantisipasi kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Di samping itu, draf ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian dan kualitas pembelajaran jarak jauh di masa kini dan masa depan, dan bukan hanya menjawab persoalan pembelajaran di masa Pandemi Covid-19. Draft Permendikbud PJJ dapat menjadi alternatif di luar modalitas pendidikan reguler.
Hal yang baru dalam draft Permendikbud PJJ ini meliputi:
- Adanya jaminan penyelenggaraan PJJ yang lebih berkualitas.
- Sistem manajemen pembelajaran yang memenuhi standar penjaminan mutu pendidikan.
- Ditetapkannya persyaratan utama bagi satuan pendidikan yang akan menyelenggarakan PJJ.
- Adanya komponen perencanaan, implementasi, dan evaluasi PJJ.
- Sistem penilaian PJJ terintegrasi dalam sistem manajemen pembelajaran yang melibatkan peranan orang tua.
Saat ini, BSNP juga sedang menyelesaikan revisi Standar Nasional Pendidikan dan mengembangkan panduan pembelajaran bagi guru berupa dokumen yang disebut dengan Fokus Pembelajaran.

Ketua BSNP Dikukuhkan Sebagai Guru Besar
JAKARTA — Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Abdul Mu’ti dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Pengukuhan yang dilakukan dalam sidang senat terbuka UIN Syarif Hidayatullah di Auditorium Harun Nasution itu, dihadiri sejumlah tokoh nasional. Diantaranya, M Jusuf Kalla yang pernah menjabat sebagi wakil presiden pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Selain itu, tampak Sekjend MUI Buya Anwar Abbas, Mendikbud Nadiem Makarim, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Prof Din Syamsuddin, Sekretaris BSNP KH Arifin Junaidi, Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, dan Ketua BAN S/M Toni Toharudin.
Sementara para tokoh yang tidak hadir memberikan ucapan selamat secara virtual melalui rekaman video yang ditayangkan. Diantaranya disampaikan oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, Ketua DPR RI Puan Maharani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri Agama H Fachrul Razi,
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Amany Burhanuddin Umar Lubis dalam pidatonya menyampaikan, alhamdulillah pengukuhan guru besar ini dapat dilaksanakan dan dihadiri para tokoh di masa pandemi Covid-19. Tapi para tokoh rasanya haus akan ilmu dan ingin mendengarkan orasi ilmiah yang sangat penting di zaman sekarang.
“Saya sangat mendukung apa yang disampaikan Prof Abdul Mu’ti bahwa ada empat ranah pembaruan pendidikan Islam yang pluralistik di Indonesia,” kata Prof Amany saat pidato dalam rangkaian acara pengukuhan Prof Abdul Mu’ti sebagai guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia menerangkan, yang pertama pembaruan kebijakan ke arah PAI yang inklusif. Kedua, pembaruan pendekatan pembelajaran ke arah yang lebih mindful, meaningful dan joyful. Ketiga, pembaruan kurikulum dengan menerapkan lifelong learning dan growth mind. Keempat, pembaharuan sistem penilaian.
Menurutnya, ini semua adalah pekerjaan bersama yang harus dilakukan untuk melakukan pembaruan pendidikan agama Islam yang pluralistik. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di Indonesia bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.
Ia juga mengingatkan, kerukunan umat beragama dan kerukunan kehidupan berbangsa serta bernegara harus sangat diutamakan. “Untuk itu bersikap toleransi, menghormati dan mengakomodasi pendapat orang lain, bekerjasama dan membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai di tengah pluralitas budaya, suku, agama haruslah atas dasar nilai-nilai keagamaan yang luhur,” ujarnya.
Prof Abdul Mu’ti
Pria kelahiran Kudus, 2 September 1968 itu itu resmi menyandang jabatan profesor terhitung sejak 1 Juli 2020, melalui surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim No 67176/MPK/KP/2020 di Jakarta tanggal 4 Juli 2020.
Selain menjabat sebagai Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) periode 2019-2023, Abdul Mu’ti, saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2015-2020.
Abdul Mu’ti menyelesaikan S1 di IAIN—kini UIN—Walisongo Semarang, S2 di Universitas Flinders of South Australia, dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain aktif berdakwah memberikan ceramah berkeliling Indonesia, dia juga produktif menulis.
“Bagi saya, menjadi guru besar itu jauh melampaui cita-cita anak desa,” ujarnya.
Untuk itu dia menyampakan ucapan terima kasih kepada semua yang telah membantunya. “Terutama ibu dan keluarga di kampung,” ujarnya lagi.

Tahun Ajaran Baru Era Pandemi
Suyanto.id–Pemerintah telah mengambil keputusan penting untuk memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020. Meskipun demikian, bukan berarti sekolah akan diizinkan menyelenggarakan proses pembelajaran tatap muka di seluruh kawasan RI. Hanya sekolah yang berada di zona hijau, yang jumlahnya hanya meliputi 6% (85 Kabupaten/Kota), yang diperbolehkan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka dengan persyaratan harus mematuhi protokol kesehatan secara disiplin.
Penyelenggaraan pembelajaran di zona hijau ini tentu tidak mudah karena sekolah harus memprioritaskan keselamatan siswa, guru, dan tenaga kependidikan yang ada. Oleh karena itu, kepala sekolah harus memiliki kepemimpinan yang tangguh, partisipatif, transformatif, dan benar-benar melayani (memiliki servant leadership style) agar bisa dipastikan bahwa keamanan bagi komunitas sekolah dari penularan Covid-19 benar-benar terjaga.
Untuk melaksanakan pembelajaran di zona hijau ini pun memerlukan alokasi anggaran yang berbeda, karena sekolah harus menyediakan sarana cuci tangan dengan sabun secara memadai, menata tempat duduk di kelas sedemikian rupa agar physical distancing bisa dilakasanakan, memastikan anak-anak harus bisa dicek parameter kesehatannya sebelum masuk kelas dengan infrared thermometer, menyediakan masker bagi anak-anak yang tidak memilikinya, dan sebagainya. Untuk inilah pentingnya kepala sekolah memiliki kepemimpinan yang baik dan efektif serta didukung oleh guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang memberdayakan peserta didik.
Big Data Pendidikan
Bagaimana dengan sekolah yang berada di zona non-hijau? Sekolah yang berada di zona kuning, oranye, dan merah (zona non-hijau) cukup besar jumlahnya. Ini merupakan tantangan berat bagi sistem dan penyelenggara pendidikan kita pada tingkat satuan pendidikan. Mengapa demikian? Karena sebagian besar sekolah kita berada pada 94% zona non-hijau dari wilayah NKRI. Ini berarti bahwa sekolah yang bertebaran di 429 kabupaten/kota di wilayah Indonesia non-hijau.
Pendidikan kita saat ini juga memiliki big data dengan klasifikasi jumlah sekolah sebanyak 220.098; peserta didik sebanyak 44.621.547; guru yang riil mendapat penugasan mengajar saat ini sebanyak 2.720.778; tenaga kependidikan sejumlah 85.074, dan rombongan belajar sebanyak 1.848.658 (Dapodikdasmen, Rekap Nasional Semester Genap 2019/2020, 24 Juni 2020). Big data pendidikan itu harus menjadi pertimbangan dasar ketika pemerintah mengambil kebijakan pembelajaran, baik di zona hijau maupun non-hijau.
Jika kebijakan pendidkan di tahun ajaran baru nanti diambil tanpa memperhitungkan dampak pada big data pendidkan, tentu hal ini akan sangat merugikan bagi penyiapan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara nasional untuk menyongsong Indonesia emas tahun 2045. Oleh karena itu, semua kebijakan yang terkait dengan pendidikan di masa pendemi pada tahun ajaran baru, baik itu menyangkut pembaharuan kurikulum, peningkatan profesionalisme guru secara berkelanjutan, pembelajaran daring, maupun pembelajaran tatap muka, semuanya harus didasarkan pada fakta dan data lapangan yang akurat dan valid. Mengapa begitu? Karena sekecil apa pun kebijakan, dampaknya akan luar biasa pada komponen big data pendidikan.
Kebijakan pendidikan tidak boleh diputuskan hanya dari pemikiran segelintir orang yang hanya duduk di belakang meja di Kementerian dengan hanya menggunakan asumsi-asumsi rasioanal tanpa melihat kondisi riil lapangan yang terdiri atas jutaan stakehorlder dari sebuah kebijakan. Kebijakan yang baik adalah yang memiliki terma operasional yang tidak multimakna dan multitafsir bagi stakeholder (Straub 2009). Kebijakan yang tidak melihat lapangan memiliki resiko yang begitu luas bagi pendidikan kita; baru berbicara aspek siswa kita saja, jumlahnya hampir sama dengan tiga kali penduduk Australia. Jumlah gurunya hampir sama dengan separoh penduduk Singapura.
Maka dari itu, kebijakan pendidikan di masa pendemi di tahun ajaran baru perlu dirumuskan dengan ektra hati-hati dalam menentukan agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi, dan evaluasinya. Tanpa kehati-hatian, akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian para stakeholder pendidikan di tingkat pelaksana dan subyek dari target kebijakan yang jumlahnya sangat besar.
Kebijakan pendidikan yang baik dan efektif di masa pendemi seperti ini tentu harus mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh komponen big data pendidikan secara efisien dan efektif, bisa memfasilitasi sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik daring mapun tatap muka, dan juga mampu mengajak stakeholder untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengimplementasikan kebijakan pndidikan di saat pandemi Covid-19 masih terjadi.
Pembelajaran Daring
Pembelajaran daring akan menjadi kebijakan utama pada sebagaian besar sekolah kita di zona non-hijau pada tahun ajaran baru. Karena menjadi kebijakan utama, maka pemerintah harus mengenali tantangan kebijakan secara komprehensif dilihat dari unsur-unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran itu. Jika kapabilitas unsur-unsur yang terlibat tidak dipetakan secara baik dengan berbagai kesiapan dan kapasitasnya, maka yang namanya kebijakan belajar daring akan hanya menjadi euforia, jauh dari realita dan cita-cita.
Dalam pembelajaran daring, banyak tantangan yang harus dihadapi. Tantangan utama adalah persoalan akses dan budaya siswa. Sebagian besar siswa tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk akses internet. Apalagi di daerah 3T, akses itu sangat sulit kalau tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Pemerintah harus segera membuat peta akses internet para siswa kita. BOS afirmasi perlu dihidupkan lagi agar siswa yang secara ekonomi tidak mampu mengakses jaringan internet bisa dibantu.
Dari aspek budaya, siswa dan guru juga memiliki masalah. Tidak bisa serta-merta siswa dan guru diminta click laptop atau telepon pintarnya, kalau mereka punya, lalu terjadi kegiatan pembelajaran daring dengan otomatis dan sesuai dengan prinsip pembelajaran jarak jauh. Dengan diberitahu platform pembelajaran, belum tentu terjadi interkoneksi antarorang, antarprogram, dan antarmesin seperti yang terjadi pada karakteristik budaya masyarakat di era Revolusi Industri 4.0. Pendek kata, aspek budaya ini harus juga menjadi bahan pertimbangan kebijakan pembelajaran daring.
Harus ada proses peningkatan kapasitas guru dan siswa untuk mengenali budaya daring agar mereka bisa memaanfaatkan IoT yang sedang marak saat ini. Selanjutnya, agar pembelajaran daring efektif, orang tua juga harus bisa belajar untuk berubah, mengembangkan growth mindset dalam new normal pembelajaran bagi putra-putrinya. Orang tua harus juga bisa mendengarkan anaknya ketika dia menghadapi kesulitan belajar, bisa bertindak sebagai shadow teacher, bisa menjadi model bagi habituasi karakter yang dikhawatirkan akan terabaikan dengan modalitas pembelajaran daring.
Konsekuensinya, guru dan sekolah perlu menciptakan sistem komunikasi resiprokal dengan orang tua siswa agar penanaman karakter bisa terjadi secara koheren, tidak kontradiksi dengan apa yang dirumuskan oleh guru dan sekolah. (*)
Penulis: Prof. Suyanto, Ph.D. (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta)
Disalin dari Suyanto.id
Terbit pertama di Harian Kompas edisi 9 Juli 2020

Gerakan Pendidikan
Nadiem Makarim memperkenalkan jargon dengan kata penggerak untuk mentransformasi Pendidikan, mulai dari guru penggerak, sekolah penggerak, hingga organisasi penggerak.
Asumsinya berbagai macam gerakan ini akan mempercepat transformasi pendidikan. Sekadar bergerak tanpa tujuan jelas bisa menyesatkan. Apalagi kalau yang bergerak hanya elitenya.
Transformasi, menurut Nadiem dimulai dari guru. Dari berbagai penjelasannya di media, sambutan, dan dialog di hadapan publik, yang dimaksud guru penggerak adalah pendidik yang memiliki kompetensi dan pengetahuan mahir di bidang yang diampunya. la dapat membimbing dan melatih guru-guru lain. Kepala sekolah harus diangkat dari guru penggerak agar menjadi sekolah penggerak.
Guru pelatih
Dalam beberapa kali pertemuan antara Badan Standar Nasional Pendidikan dan Mendikbud, Nadiem selalu menegaskan guru hanya bisa dilatih oleh guru. Guru hanya bisa dilatih oleh mereka yang piawai dan berpengalaman sebagai guru. Dengan konsep inilah, Nadiem membuka terobosan format pelatihan guru yang dibuka pada Lembaga non-perguruan tinggi (PT) untuk melatih guru yang ia sebut sebagai organisasi penggerak. lni adalah organisasi masyarakat yang bergiat di pelatihan dan pengembangan guru.
Selama ini, bebe rapa sistem pelatihan guru misalnya untuk Pendidikan Profesi Guru, dipercayakan kepada PT yang mengelola Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pelatihan oleh LPTK mungkin dianggap terlalu teoretis, kurang relevan dengan kebutuhan, serta tak efektif karena diajar oleh para dosen yang dianggap kurang mengenal dinamika dan kompleksitas kelas. Pelatihan oleh PT dianggap kurang mampu melahirkan guru penggerak.
Pernyataan bahwa guru hanya bisa dilatih oleh guru berpengalaman bisa dipahami dengan baik apabila diletakkan dalam konteks praktik mengajar sebagai ilmu terapan. Asumsinya, kemahiran guru hanya dapat terbentuk dari kumpulan pengalaman yang direfleksikan terus-menerus (Moo, n 2005). Memberi prioritas pada ilmu terapan tak berarti abai pada peranan akademia sebagai domain PT. Para profesor di universitas bisa saja terlalu fokus pada teori ketimbang praktik saat melatih guru. Namun, benar juga bahwa para profesor di universitas, karena pengalaman akademiknya, memiliki keistimewaan dalam teori sebagai akademia (Murphy, 2007).
Karya para akademisi memang cen derung lambat, hati-hati, melalui pendekatan sistematik berbasis bukti ilmiah berdasarkan pendekatan yang telah dibangun oleh para sarjana sebelumnya dan bertanggung jawab menunjukkan keterbatasan-keterbatasan praktik dan daerah abu-abu. Sebaliknya, para pengambil kebijakan praktis dan guru cenderung mengutamakan pengetahuan yang dapat secara langsung menyelesaikan persoalan jangka pendek.
Akibatnya, intisari pengetahuan yang dapat diterapkan secara langsung lebih diutamakan daripada persoalan yang membutuhkan refleksi dan studi jangka panjang (Kochan, et al 2002: 290, Black &Haines, 2018). Trial and error dalam pengajaran memang bisa membawa kemajuan tetapi tak akan mendalam ka rena tak disertai pengalaman merefleksikan praktik dalam terang teori pendidikan yang kokoh. Padahal apabila diperkaya pemahaman teori yang kokoh, berdasarkan hasil riset dengan metode yang rigor, inovasi pembelajaran akan kuat, dapat digeneralisasi sehingga lebih mudah dibagikan.
Menjembatani dua domain antara teori dan praktik untuk transformasi pendidikan sangatlah fundamental. PT tetap memiliki fungsi kritis dan strategis dalam transformasi pendidikan. Menisbikan peran PT dalam pengembangan profesional guru dan lebih memercayakan kepada organisasi penggerak yang tak jelas kompetensi dan keahliannya akan membahayakan kinerja pendidikan. Menjembatani universitas dan kelas tentu opsi yang lebih menjanjikan daripada membuka peluang pada organisasi non-PT yang secara praktik dan teori kredibilitasnya dipertanyakan.
Tim Elite
Kelemahan mendasar konsep guru penggerak adalah sifatnya yang elitis. Mereka inilah yang pantas menjadi kepala sekolah agar sekolahnya menjadi sekolah penggerak karena kemampuannya menjadi pemimpin instruksional. Konsep kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional sudah muncul sejak awal 1980-an ketika era standardisasi dan akuntabilitas semakin kuat muncul di AS (Edmonds, 1979; Leithwood & Montgome ry, 1982). Konsep ini muncul seiring diperkenalkanny kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah yang mem berikan otonomi sekolah dalam mengelola pembelajaran.
Konsep Nadiem tentang kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional masih fokus pada pemimpin instruksional dalam arti sempit (Sheppard,1996).
Meskipun di kalangan akademisi belum ada kesepakatan tunggal tentang definisi pemimpin instruksional para pendukung konsep ini memahami kepemimpinan instruksional sebagai keberadaan pemimpin sekolah yang membimbing para guru agar terlibat dalam aktivitas yang secara langsung memengaruhi pembelajaran dan perkembangan pe serta didik (Davidson 1992; Duke, 1987;
Leithwood et al, 1999; Marzano et al, 2005). Sementara dalam arti luas, kon sep ini mengacu pada semua kegiatan yangdilakukan kepala sekolah yang berkontribusi pada pemelajaran siswa (Donmoyer and Wagstaf,1990).
Sejak tiga dekade lalu, model kepemimpinan instruksional dalam arti sempit berfokus pada kegiatan belajar di kelas semata, mulai dipertanyakan efektivitasnya dan mendapat banyak kritik. Apalagi era standardisasi telah mereduksi kegiatan instruksional pada parameter keberhasilan melalui ujian standar. lronisnya, di Indonesia ujian standar seperti ujian nasional dihapuskan, tetapi kita malah terjebak pada ujian standar global PISA sebagai acuan keberhasilan tujuan pembelajaran. Ini mereduksi tujuan besar pendidikan nasional.
Faktanya, peranan kepala sekolah dalam meningkatkan prestasi belajar ternyata tak seperti yang dikira sebelumnya. Marzano, et al (2005) misalnya menemukan, peranan kepala sekolah dalam konteks peningkatan prestasi siswa porsinya hanya 25 persen. lni berarti 75 persen kegiatan kepala sekolah tak terkait langsung dengan kegiatan instruksion,al misalnya penguatan motivasi guru, penciptaan kedisiplinan sekolah, pengembangan profesi guru, kolaborasi dengan orangtua dan masyarakat pengembangan budaya sekolah menciptakan iklim pemelajaran ramah dan nyaman. Keberhasilan pendidikan bukan monopoli peran kepala sekolah semata. Banyak riset kemudian menemukan faktor lain yang juga berpengaruh, seperti gaya kepemimpinan terbagi (shared lea dership), kepemimpinan guru (teacher leadership), kepemimpinan terdistribusi (distributed leadership), dan kepemim pinan transformasional (transformatio nal leadership).
“Munculnya model-model ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan yang semakin besar pada model kepemimpinan instruksional yang dipercaya banyak orang terlalu terfokus pada kepala sekolah sebagai pusat keahlian, kekuatan, dan kekuasaan” (Hallinge r, 2003, 330; Stewart, 2006). Kelemahan utarna model kepemimpinan instruksional adalah pendekatan top-down (Urick, 2012), hanya ada satu lakon dan pahlawan, kepala sekolah. Faktanya, kepemimpinan disekolah sifatnya menyebar dan ada di mana-mana (Sergiovannie, 1994, 2001), tak bisa ditumpukan pada seorang kepala sekolah saja (Rajbhandar 2014). Dengan kata lain, model kepemimpinan instruksional yang terpusat dan elitis sudah tak memadai lagi.
Alternatif Transformasi
Alih-alih mencari guru penggerak untuk diangkat sebaga i kepala sekolah, ada alternative lain untuk transformasi pendidikan, yaitu melalui guru pemimpin dan mengembangkan pembiasaan merefleksikan praktik (reflexilee practice) dalam kebersamaan komunitas sekolah (Gibbs, 1998; Moo, n 2005). Meskipun sama-sama bisa disebut sebagai pemimpin sekolah (school leader), konsep guru pemimpin sangat berbeda dengan guru penggerak. York-Barr dan Duke’s (2004) mendefinisikan kepemimpinan guru sebagai sebuah proses di mana para guru baik individual maupun kolektif, memengaruhi sesama guru, kepala sekolah, dan anggota komunitas sekolah lain untuk memperbaiki praktik pengajaran dan pemelajaran yang tujuannya adalah meningkatkan kualitas belajar dan prestasi siswa. Konse p guru pemimpin lebih luas dan lebih strategis daripada sekadar guru penggerak ala Nadiem
Lebih dari itu, dalam perjalanan kariernya, tak semua guru ingin jadi kepala sekolah. Tak semua guru mahir tertarik pada jabatan ini. Guru mahir yang di hargai dengan insentif dan remunerasi setara dengan kepala sekolah sudah merupakan apresiasi yang luar biasa. Tidak semua guru ingin berkarier sebagai kepala sekolah. Memaksa guru menjadi kepala sekolah bisa kontraproduktif. Ke pemimpinan pada hakikatnya adalah tanggapan seorang pemimpin pada per soalan kontekstual sehingga tujuan organisasi tercapai. Kemampuan memahami konteks dan merefleksika praksis pendidikan kunci penting transformasi.
Berhadapan dengan situasi yang kompleks, tidak pasti, selalu berubah, dan ambigu, yang perlu diperkuat adalah peranan setiap pelaku. Karena itu, model kepemimpinan pendidikan yang tersebar (distributed leadership) yang didukung oleh sikap reflektif terhadap praksis akan lebih efektif. Setiap individu perlu belajar memahami situasi untuk menjawab persoalan melalui evaluasi dan refleksi secara terus-menerus agar menemukan jalan-jalan terbaik dalam kebersamaan dengan semua warga sekolah demi tercapainya tujuan besar pendidikan. Pekerjaan besar ini tidak cukup apabila hanya mengandalkan kehadiran guru penggerak, kepala sekolah sebagai pernimpin instruksional dan organisasi penggerak.
Sekolah bukan milik guru penggerak, juga bukan kepunyaan kepala sekolah penggerak saja, apalagi organisasi penggerak. Transformasi pendidikan hanya mungkin apabila ada keyakinan bah wa setiap individu mampu menjadi pemim pin. Dan setiap pemimpin belajar dari kepemimpinan orang lain melalui dinamika kehidupan kontekstual dalam keseharian di sekolah. Elitisme pendidikan tidak akan mampu mempercepat pencerdasan kehidupan bangsa.
Penulis: Doni Koesoema A., M.Ed. (Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan)
Terbit pertama di Harian Kompas edisi 10 Juli 2020

Siaran Pers BSNP Tentang PJJ
JAKARTA, BSNP — Rabu (8/7/2020), Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan siaran pers tentang PJJ. Siaran pers ini dibacakan oleh Ketua BSNP Abdul Mu’ti didampingi anggota BSNP Ki Saur Panjaitan dan dihadiri sejumlah anggota BSNP lainnya melalui daring.
Berikut selengkapnya isi siaran pers BSNP:
BSNP sedang mengembangkan standar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, untuk menjawab tren pendidikan berkualitas dimasa depan. Pengembangan standar ini merupakan amanat dalam Pasal 31 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagai bagian dari upaya penjaminan mutu pendidikan.
Saat ini, proses pengembangan draf standar PJJ sudah sampai pada tahap Uji Publik. BSNP memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan melalui surel Sekretariat BSNP ([email protected]).
PJJ adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik, dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi dan informasi, atau media lain. Pembelajaran jarak jauh merupakan alternatif moda PJJ. Sistem PJJ yang semakin berkembang dengan inovasi abad 21 merupakan salah satu sistem pendidikan yang memiliki daya jangkau luas lintas ruang, waktu, dan sosio-ekonomi.
Dalam mengembangkan standar PJJ, BSNP melibatkan Tim Ahli yang terdiri atas praktisi dan akademisi dibidang yang terkait, serta memperhatikan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Analisis KR Tahun Ajaran Baru
Suyanto.id–Pandemi Covid-19 membuat ketidakpastian di semua sistem kehidupan. Hal ini membuat kalang kabut perencanaan dalam banyak program layanan yang harus dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam ketidakpastian itu tujuan penting perencanaan negara harus ditujukan untuk menjamin keselamatan warga semaksimal mungkin.
Dalam konteks ini, negara harus melaksanakan mandat imperatif dari pembukaan UUD RI 1945 di alinea IV yang berbunyi: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…” Mandat ini penting untuk kita lihat kembali agar pada masa pendemi ini, negara, pemerintah dan masyarakat bersatu padu untuk melawan Covid-19 secara sinergis dan terkoordinasi dalam satu visi dan tujuan: melindungi segenap bangsa dari gempuran Covid-19.
Apa relevansi dengan wacana yang muncul untuk mengubah tahun ajaran baru menjadi Januari? Relevansinya ialah agar kita bisa memberi perlindungan maksimal kepada para siswa kita dari ancaman tertular Covid-19. Artinya jika kita mewacanakan perpindahan tahun ajaran dari Juli menjadi Januari ada rasional yang kuat, yaitu untuk melindungi para siswa dari tertularnya Covid-19. Bagaimana rasionalnya?
Kalau kita mau melawan Covid-19 dengan efektif tentu harus berbasis data, bukan berbasis ilusi dan halusinasi. Data di situs Covid19.go.id menunjukkan percepatan penularan di negeri ini masih tinggi. Kurva penyebaran Covid-19 belum mendatar. Data 28 Mei menunjukkan bahwa korban terkonfirmasi positif sebanyak 24.538; dalam perawatan 16.802. Penyebaran di provinsi kalau kita ambil 10 paling banyak adalah: DKI 28,5%; Jawa Timur 17,6%; Jawa Barat 8,9%; Sulawesi Selatan 5,8%; Jawa Tengah 5,4%; Sumatera Selatan 3,8%; Banten 3,4%; Kalimantan Selatan 3,3%; Papua 2,4% dan Nusa Tenggara Barat 2,3%.
Jika bulan Juli nanti tetap menjadi tahun ajaran baru, berarti sekolah dan perguruan tinggi akan melakukan penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Kalau hal ini tetap dilaksanakan berarti ada mobilitas manusia dalam jumlah yang besar di seluruh tanah air menuju tempat yang namanya sekolah atau kampus. Jumlah siswa dan mahasiswa saat ini sekitar 57 juta. Ini angka sangat besar terkait kehidupan nyawa mereka yang harus dilindungi negara.
Bentuk perlindungan yang sangat esensial saat ini adalah menjaga jarak yang aman dan menghindari kerumunan dalam satu konsentrasi di suatu lokasi yang namanya sekolah atau kampus perguruan tiggi.
Cuci tangan dengan sabun juga merupakan pencegahan yang efektif untuk masuknya virus Korona ke dalam tubuh seseorang. Jika bulan Juli nanti sekolah resmi dibuka, dan menerima murid dan mahasiswa baru, ada risiko bahwa social distancing sulit dilaksanakan secara sempurna dan protokol Covid-19 sulit dilakukan secara taat asas, terutama di sepuluh besar propinsi korban Covid-19 itu. Apalagi jika 57 juta siswa dan mahasiswa masuk ke sekolah di bulan Juli, kemungkinan besar penjalaran virus Korona belum mendatar kurvanya.
Implikasinya, sekolah harus memastikan bahwa bisa memberi perlindungan kepada para siswa sesuai dengan protokol pencegahan penularan virus. Seperti harus tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang memadai agar siswa tidak berdesakan antrenya, harus mendisiplinkan siswa menggunakan masker, membuat tempat duduk siswa di ruang kelas berjarak aman satu sama lain dan sebagainya. Sebagai protokol ini sulit dipenuhi dengan baik oleh semua sekolah.
Tidak ada buruknya, wacana pindah tahun ajaran baru dari Juli mundur ke Januari, dipertimbangkan pemerintah pusat. Sambil berjuang untuk membuat kurva penyebaran menjadi landai dan menurun sampai titik nol di bulan Desember. Kalau ini dilaksanakan berarti kita memang harus mengorbankan satu semester bagi siswa untuk tidak masuk sekolah, demi kesehatan mereka. (*)
Penulis: Prof. Suyanto, Ph.D. (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta)
Disalin dari Suyanto.id

Pendidikan di Masa Sulit
Suyanto.id–Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan banyak hal dalam kehidupan. Dunia akan mengalami kemunduran ekonomi bersama. Meski demikian, kemunduran ekonomi yang sedang dan akan diderita pasti berbeda-beda, sesuai kekuatan fondasi ekonomi setiap negara. Kemunduran itu terjadi karena semua negara harus menangani merajalelanya Covid-19 yang sedang mewabah.
Celakanya, semua program yang harus dipakai dalam menghadapi ganasnya Covid-19 memiliki sifat yang mendestruksi pilar-pilar penting ekonomi. Lalu, bagaimana dengan pendidikan kita saat ini? Apakah ia juga ikut menderita seperti sektor ekonomi? Jawabnya, ya. Sektor ekonomi dan sektor pendidikan memiliki hubungan yang simetris, saling memengaruhi, dan saling tergantung.
Kesulitan pendidikan
Saat ini praksis pendidikan berjalan tidak normal akibat ada gangguan virus ganas korona. Sekolah dan juga perguruan tinggi ditutup dalam rangka melaksanakan program pemerintah untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 melalui pembatasan sosial. Implikasinya, peserta didik harus belajar di rumah masing-masing. Apa yang terjadi dengan program mendadak seperti itu? Ada persoalan yang dihadapi sektor pendidikan.
Dari aspek kultural, jelas peserta didik kita sebagian besar tidak siap untuk belajar mandiri dari rumah. Ada di antara mereka yang justru menganggap belajar di rumah identik dengan libur sekolah sehingga tidak semua siswa bisa belajar di rumah dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi.
Hal yang paling jelek lagi jika budaya belajar di lingkup keluarga tidak ada, maka anak-anak kita tidak mendapat dukungan yang kondusif dari para orang tua. Bahkan orang tua sebagian besar tidak siap membimbing putra-putrinya belajar di rumah. Banyak anak mulai rindu masuk sekolah karena di rumah tak terfasilitasi belajarnya dan juga mereka kehilangan ikatan psikologis dan sosial dengan teman, guru, dan komunitas sekolah.
Hanya anak-anak dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas yang memiliki kemungkinan mendapat dukungan orang tua mereka dengan memadai dan mungkin bahkan hampir sempurna. Dari kalangan kelompok ekonomi berada, anak-anak bisa mendapatkan dukungan orang tua berupa akses untuk belajar online (daring) tanpa batas, di samping orang tua mereka memang telah membudayakan kegiatan belajar di tingkat keluarga.
Dari kalangan ini anak-anak bisa akses ke berbagai platform pembelajaran daring yang berbayar sekalipun. Hal ini terjadi terutama di kota-kota besar. Di kota-kota kecil, ada peluang anak-anak bisa akses ke online, tetapi tidak sebebas anak-anak di kota besar dari kelompok orang yang berada. Banyak anak dan orang tua memiliki ponsel pintar yang bisa digunakan untuk akses ke situs-situs yang menawarkan program belajar daring, terutama yang tak berbayar, seperti Rumah Belajar milik Kemendikbud.
Meskipun demikian, mereka sangat terbatas kemampuannya untuk akses karena rendahnya daya beli untuk paket data internet. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini perlu ada bantuan kepada siswa-siswa yang tidak bisa beli paket data.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) keuangan dan stimulus untuk menghadapi Covid-19. Sejumlah Rp405,1 triliun telah dianggarkan dengan alokasi Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi, Rp75 triliun untuk kesehatan (melawan Covid-19), Rp110 triliun jaring pengaman sosial, dan Rp70,1 triliun insentif perpajakan.
Dari perppu itu nyata benar bahwa sektor pendidikan di masa sulit ini belum dianggarkan untuk subsidinya. Oleh karena itu, Kemendikbud perlu memindahkan dana-dana yang dialokasikan untuk program nonprioritas menjadi program subsidi belajar daring, baik untuk paket data maupun untuk perangkat keras yang diperlukan siswa dari keluarga tidak mampu.
Demikian pula dana UN yang dibatalkan, juga bisa digunakan untuk membantu anak-anak dari keluarga tidak mampu agar bisa ikut belajar secara daring atau paling tidak belajar melalui grup WA. Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena kita tidak tahu kapan Covid-19 bisa ditaklukkan secara total sehingga anak-anak bisa belajar kembali secara normal di sekolah.
Modal sosial
Bisakah kita mengabaikan pendidikan di masa sulit ini? Tentu tidak. Jika pendidikan di masa sulit ini tidak juga diberdayakan seperti program pemulihan ekonomi, akan muncul benih-benih disparitas dalam arti kualitas dan kuantitas. Disparitas yang paling dirasakan semakin melebar nanti adalah Jawa-luar Jawa. Kemudian akan disusul bentuk-bentuk lain disparitas, seperti desa-kota, kota besar-kota kecil, kabupaten-kota.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan muncul disparitas berbasis jender. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, sehingga sumber daya yang dimiliki keluarga sangat minim, keputusan untuk tidak menyekolahkan akan jatuh pada anak perempuan.
Anak laki-laki akan menjadi prioritas untuk mendapatkan pendidikan. Kalau hal ini semua terjadi, dalam jangka panjang akan terjadi persoalan dalam pembentukan modal sosial di masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, modal sosial yang tinggi di masyarakat sangat penting. Tanpa ada modal sosial memadai, program-program yang dilakukan pemerintah akan menghadapi fenomena resistensi.
Apa sebenarnya modal sosial? Modal sosial menurut Thomas Sander (2015) merupakan nilai-nilai kolektif yang dipahami bersama oleh semua jalinan sosial dalam masyarakat dan kecenderungan-kecenderungan yang muncul darinya untuk bertindak satu sama lain atas dasar norma resiprositas.
Modal sosial pada akhirnya sangat bertumpu pada sebuah kebermanfaatan yang bersumber dari kepercayaan, prinsip resiprositas, informasi, dan kerja sama dari jaringan-jaringan sosial yang ada. Modal sosial mampu menciptakan nilai-nilai yang dipegang teguh secara bersama dalam masyarakat.
Jika pendidikan kita penuh dengan disparitas, maka sulit untuk menumbuhkan modal sosial dalam masyarakat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan masyarakat kita akan menderita defisit modal sosial. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau kita mengalami defisit modal finansial, pemerintah bisa mencari utangan ke lembaga keuangan dunia. Sebaliknya, jika kita mengalami defisit modal sosial, kita tak bisa meminjam ke negara lain untuk menutupinya. Oleh karena itu, dalam masa sulit Covid-19 ini, pendidikan hendaknya juga menjadi perhatian yang tinggi agar dalam jangka panjang tak memicu terjadinya defisit modal sosial. (*)
Penulis: Prof. Suyanto, Ph.D. (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta)
Disalin dari Suyanto.id